Minggu, 13 Maret 2011

Sejarah, Pasal-pasal, dan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia


Sejarah Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hakyang bersifat kodrati). Karena itu tidak ada kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semaunya. Sebab, apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

            Pada hakikatnya hak asasi manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya. Tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya akan sulit ditegakkan.

            Mengingat begitu penting proses internalisasi pemahaman hak asasi manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lain, maka pendekatan historis mulai dari dikenalnya hak asasi manusia sampai dengan perkembangan saat ini perlu diketahui setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain.
a.    Sejarah Internasional Hak Asasi Manusia

            Umumnya pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggung jawab kepada hukum. 

            Sejak itu mulai dipraktikkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggung jawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.
            Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya risiko yang dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. 

            Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Montesquieu dengan Trias Politika yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi, walaupun di Prancis sendiri belum diperinci apa HAM itu, di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih terperinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.

            Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, di mana hak-hak yang lebih terperinci melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orany yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengeluarkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik), dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.

            Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p. 654 di bawah ini:
"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world."

            Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.

b. Sejarah Nasional Hak Asasi Manusia

            Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.

            Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar (antarnegara-negara) maupun ke dalam (antarnegara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negara masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar-negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam mengandung pengertian Deklarasi HAM sedunia harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.

            Bagi negara-negara anggota PBB, deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia di suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.

            Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapa pun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.

            Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih paham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewan Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi, asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterapkan oleh raja-raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.

            Human rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan social rights. Bukankah social rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan? Sesungguhnya dalam human rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi, saling menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Sebagai contoh, seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. 

            Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah social rights, karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.

            Ada yang mengatakan pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, namun dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain, khususnya negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dari kita. Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Namun, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam pelaksanaan. Di samping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu. Karena itu, masalahnya adalah kembali kepada siapa yang mengondisikan dan mengapa diciptakan kondisi seperti itu?


Pasal-pasal Hak Asasi Manusia

Pasal 1
Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan international.

Pasal 2
1. Setiap negara mempunyai tanggung jawab dan tugas utama untuk melindungi, memajukan dan melaksanakan semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar, antara lain dengan mengambil langkah-langkah yang mungkin perlu untuk menciptakan semua kondisi yang dibutuhkan dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun bidang-bidang lain serta jaminan hukum yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua orang di bawah jurisdiksinya, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat menikmati semua hak dan kebebasan ini dalam praktik.
2. Setiap negara harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif dan lain-lain yang mungkin perlu untuk memastikan bahwa hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Deklarasi ini dijamin secara efektif.

Pasal 3
Hukum dalam negeri yang sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kewajiban internasional Negara lainnya di bidang hak asasi manusia dan kebebasan dasar merupakan kerangka juridis di mana hak asasi manusia dan kebebasan dasar seharusnya dilaksanakan dan dinikmati, dan bagi pemajuan, perlindungan dan pelaksanaan efektif dari hak-hak dan kebebasan yang disebutkan dalam Deklarasi ini seharusnya dilakukan.

Pasal 4
Tidak ada dalam Deklarasi ini yang ditafsirkan sebagai menghalangi atau bertentangan dengan tujuan dan prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun sebagai membatasi atau mengurangi ketentuan-ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak Asasi Manusia, dan instrumen-instrumen internasional lainnya dan komitmen yang bisa diterapkan di bidang ini.

Pasal 5
Untuk keperluan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar, setiap orang mempunyai hak, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, di tingkat nasional dan internasional:
1. Untuk bertemu atau berkumpul secara damai;
2. Untuk membentuk, bergabung dan ikutserta dalam organisasi-organisasi non-pemerintah, perhimpunan atau kelompok;
3. Untuk berkomunikasi dengan organisasi non-pemerintah atau antar-pemerintah.

Pasal 6
Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama:
(a) Untuk mengetahui, mencari, memperoleh dan menyimpan informasi tentang semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar, termasuk mempunyai akses terhadap informasi mengenai bagaimana hak-hak dan kebebasan ini memberi pengaruh dalam sistem legislatif, judisial atau administratif di dalam negeri;
(b) Sebagaimana ditetapkan dalam instrumen hak asasi manusia dan instrumen internasional yang bisa diterapkan lainnya, untuk menerbitkan secara bebas, menanamkan atau menyebarkan kepada orang-orang lain pandangan, informasi dan pengetahuan mengenai semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar;
(c) Untuk mempelajari, mendiskusikan, membentuk dan mempertahankan pandangan tentang kepatuhan, baik dalam hukum maupun dalam praktek, mengenai semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar dan, lewat sarana ini dan lain-lain yang pantas, untuk menarik perhatian masyarakat atas masalah-masalah itu.

Pasal 7
Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk mengembangkan dan mendiskusikan gagasan-gagasan dan prinsip hak asasi manusia yang baru, dan untuk menganjurkan agar gagasan dan prinsip tersebut diterima.

Pasal 8
1. Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk mempunyai akses secara efektif, atas dasar non-diskriminatif, berpartisipasi dalam pemerintahan dan dalam melakukan urusan-urusan publik suatu negara.
2. Ini mencakup, antara lain, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, hak untuk mengajukan kepada badan-badan pemerintah dan perwakilan atau organisasi yang bersangkutan dengan urusan-urusan publik, kritik dan usul guna memperbaiki fungsi mereka dan untuk menarik perhatian pada setiap aspek dari pekerjaan mereka yang dapat menghalangi atau mengganggu pemajuan, perlindungan dan pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar.

Pasal 9
1. Dalam melaksanakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar, termasuk pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi ini, setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk memperoleh manfaat atas upaya perbaikan efektif dan perlindungan dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak ini.
2. Untuk tujuan ini, setiap orang yang hak dan kebebasannya dilaporkan telah dilanggar, baik secara pribadi atau lewat kuasanya yang sah secara hukum, untuk mengajukan pengaduan dan meminta agar pengaduan tersebut diperiksa dengan segera dalam suatu pemeriksaan terbuka di depan suatu badan peradilan yang bebas, tidak memihak dan kompeten atau kewenangan lain yang ditetapkan dengan hukum, dan untuk memperoleh dari badan yang berwenang tersebut suatu keputusan, sesuai denga n hukum, yang memberikan gantirugi, termasuk setiap kompensasi yang layak, di mana telah terjadi suatu pelanggaran hak atau kebebasan orang tersebut; maupun diberlakukannya keputusan akhir dan penyerahan; semuanya tanpa penundaan yang tidak semestinya.
3. Untuk tujuan yang sama, setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, antara lain:
(a) Untuk mengajukan pengaduan tentang kebijakan dan tindakan pejabat dan badan-badan pemerintah-an berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan dasar lewat petisi atau sarana lain yang patut kepada badan-badan judisial, administratif atau legislatif yang berwenang di dalam negeri atau kepada otoritas lain yang kompeten yang ditetapkan oleh sistem hukum suatu Negara, yang harus memberikan keputusan tentang pengaduan tersebut tanpa penundaan yang tidak semestinya;
(b) Untuk menghadiri dengar pendapat untuk urusan-urusan publik (public hearings), pemeriksaan perkara dan pengadilan, untuk membentuk pendapat mengenai kepatuhan mereka terhadap undang-undang nasional dan kewajiban serta komitmen internasional yang bisa diterapkan;
(c) Untuk menawarkan dan menyediakan bantuan hukum yang memenuhi syarat secara profesional atau nasehat lain yang relevan dan bantuan dalam mempertahankan hak asasi manusia dan kebebasan dasar.
4. Untuk tujuan yang sama, dan sesuai dengan instrumen dan prosedur internasional yang bisa diterapkan, setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk mendapat akses tanpa halangan dan berkomunikasi dengan badan-badan internasional dengan kompetensi umum atau khusus untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi tentang masalah-masalah hak asasi manusia dan kebebasan dasar.
5. Negara harus melakukan investigasi dengan segera dan tidak memihak atau memastikan bahwa suatu penyelidikan dilakukan apabila ada alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar telah terjadi dalam suatu wilayah di bawah jurisdiksinya.

Pasal 10
Tidak seorang pun boleh berpartisipasi, baik dengan perbuatan atau pun tidak ketika dibutuhkan, dalam pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan tidak seorang pun akan dikenai hukuman atau tindakan sebaliknya dalam bentuk apa pun karena menolak untuk berbuat demikian.

Pasal 11
Setiap orang berhak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, melaksanakan jabatan atau profesinya yang sah. Setiap orang yang, sebagai akibat dari profesinya, dapat mempengaruhi martabat manusia, hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang-orang lain harus menghormati hak-hak dan kebebasan-kebebasan itu dan mematuhi standar nasional dan internasional yang relevan dari perilaku atau etika jabatan dan profesi.

Pasal 12
1. Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk ikut serta dalam kegiatan damai menentang pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan dasar.
2. Negara akan mengambil semua tindakan yang perlu untuk memastikan perlindungan oleh badan yang berwenang terhadap setiap orang, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terhadap setiap pelanggaran, ancaman, balas dendam, diskriminasi de facto atau de jure yang bersifat sebaliknya, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai akibat dari tindakan mereka yang sah dalam melaksanakan hak-hak yang disebutkan dalam Deklarasi ini.
Dalam hubungan ini, setiap orang berhak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk mendapat perlindungan efektif di bawah undang-undang nasional dalam rangka bereaksi terhadap atau menentang, lewat cara-cara damai, kegiatan dan tindakan, termasuk kelalaian oleh Negara, yang mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar maupun kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok atau induvidu yang mempengaruhi dinikmatinya hak asasi manusia dan kebebasan dasar.

Pasal 13
Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk mengumpulkan, menerima dan menggunakan sumber daya dengan maksud yang jelas guna memajukan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar, lewat jalan damai, sesuai dengan pasal 3 Deklarasi ini.

Pasal 14
1. Negara mempunyai tanggung jawab untuk mengambil langkah-langkah legislatif, judisial, administratif atau tindakan lain yang layak untuk memajukan pengertian semua orang dalam jurisdiksinya mengenai hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
2. Langkah-langkah tersebut mencakup, antara lain:
a. Publikasi dan tersedianya secara luas hukum dan peraturan nasional dan instrumen dasar hak asasi manusia internasional yang berlaku;
b. Akses sepenuhnya dan setara kepada dokumen-dokumen internasional di bidang hak asasi manusia, termasuk laporan berkala negara kepada badan-badan yang didirikan oleh perjanjian hak asasi manusia internasional di mana negara tersebut menjadi pesertanya, maupun ikhtisar catatan mengenai diskusi dan laporan resmi dari badan-badan itu.
3. Negara harus memastikan dan mendukung, apabila sesuai, perkembangan dan pembentukan lembaga-lembaga nasional yang mandiri dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di semua wilayah di bawah jurisdiksinya, apakah itu ombudsman, komisi hak asasi manusia, atau pun bentuk-bentuk lembaga nasional lainnya.

Pasal 15
Negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan dan memfasilitasi pengajaran hak asasi manusia dan kebebasan dasar pada semua jenjang pendidikan, dan memastikan bahwa semua yang bertanggung jawab terhadap pelatihan para pengacara, aparatur penegak hukum, anggota angkatan bersenjata dan pejabat publik termasuk unsur-unsur yang layak untuk dimasukkan ke dalam pengajaran hak asasi manusia dari program pelatihan mereka.

Pasal 16
Setiap orang, organisasi non-pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait mempunyai peranan penting dalam memberi sumbangan membuat agar masyarakat lebih menyadari persoalan-persoalan yang berkaitan dengan semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar lewat kegiatan-kegiatan seperti pendidikan, latihan dan penelitian di bidang ini untuk memperkuat lebih lanjut, antara lain, pengertian, toleransi, perdamaian dan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa dan di antara semua kelompok ras dan agama, dengan mengingat berbagai latar belakang masyarakat dan komunitas, di mana mereka melaksanakan kegiatannya.

Pasal 17
Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasan yang disebutkan dalam Deklarasi ini, setiap orang, yang bertindak secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan sebagaimana hal itu sesuai dengan kewajiban internasional yang berlaku dan ditentukan oleh hukum yang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang-orang lain dan untuk memenuhi persyaratan moralitas yang adil, ketertiban umum dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pasal 18
1. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap dan di dalam masyarakat, di mana hanya di dalamnya saja perkembangan yang bebas dan sepenuhnya dari setiap orang adalah mungkin
2. Individu, kelompok, dan organisasi non-pemerintah mempunyai peranan penting dan tanggung jawab untuk membela demokrasi, memajukan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dan memberi sumbangan kepada peningkatan dan pemajuan masyarakat yang demokratis, lembaga dan proses-prosesnya.
3. Demikian pula, mereka mempunyai suatu peran penting dan tanggung jawab untuk memberi sumbangan, sebagaimana layaknya, kepada peningkatan hak setiap orang akan suatu tatanan sosial dan internasional, di mana hak-hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan instrumen-instrumen hak asasi manusia lainnya dapat diwujudkan sepenuhnya.

Pasal 19
Tidak satu pun di dalam Deklarasi ini dapat ditafsirkan memberikan hak bagi seseorang, kelompok atau badan-badan di dalam masyarakat atau suatu Negara untuk melakukan kegiatan atau melaksanakan suatu tindakan yang bertujuan untuk merusak hak dan kebebasan yang disebutkan dalam Deklarasi ini.

Pasal 20
Demikian pula tidak satu pun di dalam Deklarasi ini yang dapat ditafsirkan memberikan izin kepada negara-negara guna mendukung dan mempromosikan kegiatan individu, kelompok, lembaga atau organisasi non-pemerintah yang bertentangan dengan ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. 


Pelaksanaan HAM di Indonesia

            Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap kebijakan belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau persatuan. Problem dasar HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi warga negara sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya.Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Marzuki Darusman da-lam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi Wartawan Politik (FDWP) di Wisma Surabaya Post Jakarta, Sabtu (23/8).

            Dalam diskusi itu diperbincangkan masalah hak asasi, politik dan demokrasi di Indonesia termasuk hubungan Komnas HAM dan pemerintah. “Pelaksanaan HAM di kita masih maju mundur. Namun itu tidak menjadi soal karena dalam proses,” kata Marzuki. Padahal jika melihat sisi historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat penderitaan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu pula seperti tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.

            Dalam diskusi dipersoalkan bagaimana sebenarnya posisi pemerintah untuk melaksanakan HAM secara tulus. Menurut mantan anggota F-KP DPR itu, di luar negeri bidang-bidang politik, ekonomi selalu dihubungkan dengan masalah HAM. “Makanya mereka mau berisiko demi HAM ini. HAM sudah menyatu,” katanya.

            Sedangkan di Indonesia, HAM baru merupakan satu kebijakan belum merupakan bagian dari sendi-sendi dasar dari kehidupan berbangsa. Marzuki mengatakan, sebenarnya HAM bisa menjadi faktor integrasi atau pemersatu bangsa. Marzuki menganalogikan pelaksanaan HAM di Indonesia dengan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan hidup 10-20 tahun lalu.

            Lingkungan hidup yang saat itu masih menjadi isu internasional sekarang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan pemerintah. “Saat ini, lingkungan hidup sudah menjadi kesadaran nasional,” katanya. Masalah lingkungan hidup tidak hanya menjadi kebijakan nasional namun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. “Hal seperti itulah yang saat ini sedang ditempuh oleh HAM,” katanya.

Konstelasi politik

            Kondisi HAM di Indonesia menghadapi dua hal dinamis yang terjadi yaitu realitas empiris di mana masyarakat semakin sadar HAM serta kondisi politik. Soal hubungan Komnas HAM dengan pemerintah, Marzuki mengatakan, bagian terbesar dari rekomendasi Komnas HAM terutama kepada pemerintah daerah/gubernur, 60 persen di antaranya mendapat respon yang konstruktif. Persoalan muncul jika kasusnya bermuatan politik, seperti Kasus Marsinah atau Kerusuhan 27 Juli. “Perlu ada pelurusan terhadap gambaran masyarakat soal hu-bungan pemerintah dan Komnas HAM,” katanya. Marzuki mendengar jika ada persepsi di masyarakat bahwa rekomendasi. Komnas HAM tidak dilaksanakan oleh pemerintah. “Kondisi ideal HAM adalah kondisi demokratis,” kata Marzuki. Kesadaran akan HAM maupun pelaksanaannya hanya mungkin jika ada pembaharuan politik.
 
            Dalam beberapa persoalan Marzuki melihat sikap kalangan pemerintah maupun ABRI terhadap masalah HAM tergantung konstelasi politik yang terjadi, bukan pada pemahaman HAM sebenarnya. Misalnya komentar tentang Kerusuhan 27 Juli, satu pihak mengatakan bahwa kasus tersebut sudah selesai, namun yang lainnya mengatakan bahwa langkah-langkah Megawati Soekarnoputri konstitusional. Dia mengedepankan persoalan HAM di Indonesia dengan satu contoh yakni penggunaan istilah yang berkonotasi politik terhadap seseorang yang menyentuh martabat atau privasinya. Istilah gembong, oknum atau otak terutama dalam kerangka kasus-kasus subversif menjadi biasa digunakan oleh masyarakat menjadi sesuatu yang normal. “Padahal itu menyentuh HAM, seseorang digambarkan dengan istilah-istilah,” katanya.

            Komnas HAM sebenarnya menganut prinsip HAM universal dengan dasar Piagam PBB, Deklarasi HAM serta Pancasila sebagai falsafah politik dan konsitusi UUD ‘45. “Paham HAM universal itu harus disesuaikan dengan nilai budaya yang berlaku,” katanya. Namun kurangnya pemahaman HAM atau karena kepentingan politik seringkali disebut-sebut “HAM di Indonesia sebagai HAM yang khas yang berbeda dengan HAM universal”.

            “Itu tidak benar. Tidak berarti kita punya prinsip HAM sendiri,” kata mantan Sekjen Pemuda ASEAN tersebut. Yang benar, HAM universal justru harus diimplementasikan dalam masyarakat dan peka terhadap nilai-nilai budaya setempat. “Coba cari HAM khas Indonesia yang tidak ada di HAM universal. Tidak ada,” katanya. Marzuki menilai persoalan antara HAM universal dan HAM kultural malah menjadi perdebatan semu. Padahal sebenarnya itu hanya merupakan mekanisme defensif untuk menghadapi tekanan luar.


Sumber :        http://www.vhrmedia.com/print.php?.g=corner&.s=lumbungdata&.bk=6
http://ruwaidah.wordpress.com/2010/04/14/hak-asasi-manusia/
http://www.gudangmateri.com/2010/10/kondisi-pelaksanaan-ham-di-  indonesia.html